Setiap musim haji, selain spiritualitas dan ibadah yang menjadi fokus utama, ada tradisi tak tertulis yang juga selalu menyertai perjalanan para jemaah asal Indonesia—tradisi membawa oleh-oleh. Khususnya dari daerah-daerah yang kuat dalam kultur komunal, seperti Kabupaten Kepulauan Selayar, tradisi ini bisa menjelma menjadi kewajiban sosial.
Tahun 2025 ini, muncul fenomena menarik di kalangan jemaah haji asal Selayar. Beberapa di antaranya sampai tiga kali mengirimkan kargo barang dari Arab Saudi sebelum pulang ke tanah air. Oleh-oleh yang dibawa bukan lagi sekadar simbolis, tetapi sudah mencapai volume besar yang perlu ditangani dengan jasa ekspedisi.
Mengapa oleh-oleh begitu penting? Apa makna di baliknya? Dan bagaimana dampaknya terhadap ekonomi jemaah serta dinamika sosial di kampung halaman? Artikel ini akan mengupas tuntas perjalanan oleh-oleh jemaah haji dari Selayar—sebuah bentuk cinta dan tanggung jawab sosial yang tidak lekang oleh waktu.

Bab 1: Selayar dan Tradisi Haji
1.1 Masyarakat Maritim yang Religius
Kabupaten Kepulauan Selayar adalah daerah kepulauan yang memiliki tradisi Islam yang kuat. Sejak dulu, masyarakatnya sangat menghormati ibadah haji sebagai salah satu tonggak kehidupan spiritual. Gelar “Haji” bukan sekadar status religius, melainkan juga lambang prestise sosial.
1.2 Haji sebagai Prestise Sosial
Menunaikan ibadah haji tidak hanya dimaknai sebagai kewajiban agama, tetapi juga sebagai capaian hidup yang luar biasa. Dalam masyarakat Selayar, haji adalah pencapaian yang disambut penuh rasa bangga, tidak hanya oleh individu tetapi juga oleh komunitas kampung dan keluarga besar.
1.3 Oleh-oleh sebagai Simbol Cinta
Oleh-oleh dari Tanah Suci dianggap sebagai perpanjangan tangan dari ibadah haji itu sendiri. Masyarakat percaya bahwa membawa pulang oleh-oleh seperti air zamzam, kurma, sajadah, dan barang lainnya adalah bentuk membawa “berkah” dari tanah suci ke kampung halaman.
Bab 2: Tiga Kali Kargo—Realita di Lapangan
2.1 Kargo Pertama: Kurma, Sajadah, dan Abaya
Pengiriman pertama biasanya dilakukan setelah jemaah menyelesaikan rangkaian awal ibadah dan memasuki masa tinggal di Makkah atau Madinah. Barang-barang seperti kurma Ajwa, sajadah bermerk, abaya, parfum Arab, dan mainan anak menjadi isi utama paket kargo.
Pengiriman ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa sebagian oleh-oleh sudah sampai sebelum jemaah pulang. Jika terjadi keterlambatan pengiriman, setidaknya ada sebagian yang lebih dahulu tiba.
2.2 Kargo Kedua: Barang Elektronik dan Perhiasan
Pada fase kedua, jemaah mulai berbelanja barang-barang bernilai tinggi. Telepon genggam, jam tangan, speaker, kamera digital, hingga emas Arab, biasanya dibeli di toko-toko besar di Jeddah atau Mekkah. Karena volume dan nilai tinggi, mereka mengandalkan ekspedisi profesional yang menawarkan layanan asuransi.
Kargo ini biasanya dikirim mendekati puncak ibadah wukuf di Arafah, karena setelah itu mereka fokus pada ibadah dan bersiap kembali ke tanah air.
2.3 Kargo Ketiga: Sisa Belanja dan Titipan Teman
Kargo ketiga biasanya dilakukan menjelang akhir masa tinggal di Arab Saudi. Di sinilah para jemaah mengirim barang-barang tambahan, titipan tetangga, atau oleh-oleh dadakan. Terkadang, sisa-sisa kebutuhan pribadi juga ikut dimasukkan.
Bab 3: Makna Sosial Oleh-oleh
3.1 Bentuk Silaturahmi
Di masyarakat seperti Selayar, oleh-oleh dari haji adalah bagian dari silaturahmi pasca-ibadah. Orang yang baru pulang dari Tanah Suci akan didatangi oleh keluarga besar, tetangga, dan masyarakat setempat. Memberi oleh-oleh menjadi bagian dari penyambutan yang hangat dan penuh haru.
3.2 Simbol “Keberkahan”
Barang-barang dari Mekkah dan Madinah diyakini memiliki berkah. Meminum air zamzam, memakan kurma dari Mekkah, atau memakai sajadah dari Madinah dipercaya membawa keberuntungan. Oleh karena itu, oleh-oleh bukan sekadar materi, tetapi juga simbol keberkahan spiritual.
3.3 Harapan Balas Jasa Sosial
Terkadang oleh-oleh juga diberikan kepada orang-orang yang ikut membantu proses keberangkatan haji, seperti tetangga yang mengurus rumah, kerabat yang membantu panen, atau tokoh agama yang memberikan bimbingan. Oleh-oleh menjadi bentuk terima kasih sosial yang diakui secara budaya.
Bab 4: Dampak Ekonomi bagi Jemaah
4.1 Pengeluaran Tambahan yang Signifikan
Mengirim kargo sebanyak tiga kali jelas bukan perkara murah. Rata-rata biaya kirim per koli mencapai Rp1,5 juta – Rp3 juta tergantung berat dan jenis layanan. Jika ditotal, pengeluaran oleh-oleh bisa mencapai puluhan juta rupiah per jemaah.
4.2 Modal Sosial dan Ekonomi
Namun banyak jemaah menganggap ini sebagai investasi sosial. Reputasi sebagai haji yang “berbagi” dapat mengangkat status sosial, membuka jaringan bisnis, bahkan dalam beberapa kasus berpengaruh pada peluang pencalonan politik atau jabatan adat.
4.3 Peran UMKM Lokal
Setelah oleh-oleh tiba di kampung, sering kali dibagikan dalam bingkisan-bingkisan cantik hasil kreasi UMKM lokal. Ada yang membuat parcel, dompet, tas oleh-oleh, dan sebagainya. Tradisi ini menghidupkan ekonomi desa.
Bab 5: Tantangan Logistik dan Regulasi
5.1 Risiko Keterlambatan dan Kerusakan
Tingginya permintaan pengiriman kargo dari Arab Saudi ke Indonesia kerap membuat logistik kewalahan. Jemaah kerap menghadapi keterlambatan, barang rusak, atau hilang. Tidak semua ekspedisi memiliki sistem pelacakan dan kompensasi yang memadai.
5.2 Peraturan Bea Cukai dan Pembatasan
Badan Karantina dan Bea Cukai Indonesia menetapkan batas tertentu terhadap barang bawaan jemaah. Untuk barang mewah atau elektronik, jika melebihi nilai tertentu, dikenakan pajak tambahan. Ini sering kali menjadi sumber keluhan dan kontroversi.
5.3 Edukasi dan Pendampingan
Pemerintah Indonesia melalui PPIH Arab Saudi mulai menyediakan edukasi dan layanan informasi kepada jemaah mengenai kargo. Hal ini penting agar jemaah tidak tertipu oknum jasa ekspedisi abal-abal atau salah paham terhadap aturan bea masuk.
Bab 6: Cerita dan Pengalaman Jemaah
6.1 Kisah Pak Haji Usman: Dari Kurma Hingga Laptop
Haji Usman, salah satu jemaah asal Selayar, mengaku mengirim tiga kali kargo. Pertama berisi 50 kilogram kurma, kedua untuk perangkat elektronik dan oleh-oleh keponakan, dan ketiga untuk titipan jamaah satu kloter.
“Kalau tidak dibagi oleh-oleh, nanti saya disangka pelit,” ujarnya sambil tertawa. “Bagi saya, berbagi dari Tanah Suci itu ibadah juga.”
6.2 Cerita Bu Hajjah Rahma: Bingkisan untuk Semua
Bu Hajjah Rahma bahkan membuat daftar nama-nama tetangga dan kerabat sebelum berangkat. Ia ingin setiap orang yang dikenalnya kebagian oleh-oleh. “Saya memang menabung sejak dua tahun lalu khusus untuk ini,” katanya.
Bab 7: Tradisi yang Akan Terus Hidup
7.1 Warisan Budaya yang Unik
Tradisi oleh-oleh dari haji adalah salah satu bentuk budaya Islam Nusantara yang khas. Ini bukan sekadar soal barang, melainkan juga tentang nilai, hubungan sosial, dan kebanggaan kolektif.
7.2 Adaptasi di Era Digital
Di era digital, beberapa jemaah bahkan mulai menggunakan e-commerce atau jasa pengiriman online untuk mengatur oleh-oleh mereka. Paket oleh-oleh bisa dipesan dari Mekkah dan langsung dikirim dari Jeddah ke rumah di Selayar.
7.3 Perlu Dukungan Pemerintah
Pemerintah bisa mendukung tradisi ini dengan memperkuat layanan logistik, edukasi jemaah, dan perlindungan konsumen terhadap ekspedisi. Selain itu, mendukung UMKM lokal di kampung halaman juga bisa memperkuat ekonomi pasca-haji.
Penutup: Oleh-oleh Haji—Simbol Cinta yang Tak Lekang
Tradisi membawa oleh-oleh oleh jemaah haji dari Selayar, hingga tiga kali mengirim kargo dari Arab Saudi, adalah cerminan kuatnya nilai cinta, tanggung jawab sosial, dan keberagamaan masyarakat. Meski dunia berubah dan tantangan logistik meningkat, semangat berbagi dari Tanah Suci akan terus hidup, mengalir dari satu generasi ke generasi lainnya.
Oleh-oleh dari haji bukan soal nilai barang, tapi tentang makna. Ia adalah sepotong kisah spiritual yang dikemas dalam kurma, sajadah, dan senyum hangat saat menyambut kerabat yang pulang dari rumah Allah. Di situlah sejatinya berkah haji mengalir—bukan hanya di Tanah Suci, tetapi juga di kampung halaman yang rindu.